Monday, March 7, 2011

Kepada Sang Dirijen

Hal yang membahagiakan, setelah keringatmu menderas, setelah ototmu mengeras dan tenggorokanmu panas, tak ada yang memulihkannya kecuali kemenangan. Kemenangan dari “tim” yang kau dukung.

Sejumlah uang yang kau tukar pada gol-gol juga pernah aku rasakan, meneriaki “wasit goblok!” pun pernah kulakukan. aku juga sempat merasakan pilu karena sebuah kekalahan. Di sepak bola memang selalu soal menang-kalah atau seri. Tapi kau dan aku tahu, tak ada apresiasi layak kecuali kemenangan.

Ya, seperti yang mereka cibir, kita “supporter” bola yang menggantungkan kebahagiaan pada sebuah tim. Mereka yang tidak tahu bahwa tim adalah bagian dari diri kita. Gerakan-gerakan magis dari tribun supporter sempat dianggap sebagai kode etik “gangster”. Tapi supporter bukan gangster, supporter adalah elemen yang sangat potensial untuk memajukan sepak bola, mungkin lebih luas lagi untuk kemasyarakatan.

Supporter mendukung team masing-masing sampai di titik rasa gengsi dengan supporter lain, ditimpali dengan kekalahan team atau mungkin karena sekelompok “supporter kematin sore” yang melemparkan kalimat kasar pada kelompok lain dan memicu terjadinya permusuhan.

Bicara tentang supporter di Indonesia tak bisa lepas dari dua kubu besar; Bonek dan The Jak. Bonek bergandengan dengan Viking Persib, Laskar Sakera dll, sedang The Jak terkotak bersama Aremania, LA mania dll.

Unik sekaligus ironis, tanpa harus bertemu bertanding kelompok-kelompok supporter ini terlibat saling hujat dengan umpatan-umpatan khas daerah masing-masing.

Dan belakangan semakin menjadi, Suppoorter benar-benar dicap sebagai gangster. kelompok perusuh. Disetiap pertangdingan baik Persikota atau Persita, Benteng mania dan Viola Extrim selalu terlibat tawuran disekitar stadion, Bonek setiapkali bertandang ke Jawa Barat juga selalu terlibat pelemparan rumah warga di daerah Lamongan dan Solo, begitupun sebaliknya. Warga Lamongan dan Solo yang di dominasi pemuda (artinya mereka juga supporter yang terwadah sebagai Pasoepati dan LA mania) membalas dengan melempari kaca kereta.

Terakhir, dalam perjalanan Bonek ke Tangerang tercatat sudah dua nyawa melayang dan yang paling “hot” adalah berita kerusuhan Bobotoh Persib di Stadion Siliwangi Bandung.

Tapi kita tidak bisa mengurai masalah dengan kacamata kuno. Penugasan ribuan personil Polisi juga termasuk cara kuno. Malah terakhir saya dengar ada puluhan polisi melakukan perusakan markas sekaligus bentrok dengan Viking Persib. Hal ini diketahui sebab Polisi melakukan perusakan sedang menggunakan seragam lengkap.

Polisi yang se-yogyanya bertugas mengamankan malah menjadi biang masalah dan saya yakin jika ada supporter mengumpat petinggi PSSI atau melemparkan botol ke arah wasit, BLI tak akan segan-segan menghukum dengan denda ratusan juta rupiah, namun ketika wasit memberi keputusan tidak adil belum pernah sekalipun wasit menerima hukuman, apalagi mau memberi teguran pada puluhan Polisi tersebut.

Padahal setinggi apapun pangkat Polisi tak akan mampu menjinakkan ribuan supporter. supporter hanya bergerak dari komando Sang Dirijen, BUKAN POLISI!!

Gerakkan atraktif dan nyanyian kreatif berasal dari dirijen, tak pelak penilaian baik buruk puluhan ribu supporter tergantung dari komando Sang Dirijen.

Tak perlu muluk-muluk berbicara tentang sosiologi keberadaan supporter, menurut saya jalan keluar dari kerusuhan dan permusuhan supporter bertumpu pada Sang Dirijen ini. Karena supporter berisi dari anak-anak muda yang relatif mudah “diracuni”. Bukankah ini kesempatan untuk menanamkan sportivitas dan menumbuhkan kreativitas dengan gerakan dan nyanyian yang tidak anarkis?

Bukankah saat di stadion, tim kita lebih butuh dukungan daripada hujatan pada supporter lain yang belum tentu mendengarkan?

Jadi, kubu-kubu dalam supporter di Indonesia dapat kita atasi dengan komando kreatif tak anarkis dari Dirijen.
Sepak Bola ada untuk bersaudara dalam kompetisi panjang, buat apa kita saling serang. bukankah akan lebih baik jika kita menjadi fanatik pada team sendiri daripada sibuk menghhujat kelompok lain yang akan semakin memperkeruh dan jika dibiarkan anarkisme sekecil apapun dalam supporter sepak bola pasti akan berdampak pada kehidupam di luar tribun. Mungkin suatu saat warga se-surabaya perang dengan “kera-kera ngalam” atau Barudak Bandung tawuran dengan anak-anak jakarta walau tanpa ada pertandingan.

Kepadamu, Cak Hamim Gimbal (dirijen Bonek), Sam Yuli Sumpil (Dirijen Aremania), Kang Ayi Beutik (Dirijen Bobotoh) saya harap, beri komando pada supporter kalian tentang hal-hal yang kreatif, menghibur dan tidak anarkis. Terasa lebih baik jika setiap orang yang belum tentu suka bola melihat pertunjukan seni yang luar biasa kompak dari tribun supporter daripada mendengar kabar bentrok supporter yang semakin banyak cibiran keluar untuk supporter.

Apa jadinya Italy tanpa Tifosi, terkenal darimana Spanyol tanpa Barca, Unggul dari apa Inggris jika tidak punya Manchester United?

Tim bersandar pada Suporter, Supporter bergerak dari Dirijen.
Gunakan baik-baik kedudukan mulia kalian, Sang Dirijen.

sumber :tribunaremania.ongisnade.co.id

No comments:

Post a Comment

Artikel Lainnya