Sunday, April 17, 2011

Rivalitas Abadi Fiorentina-Juventus

Tidak semua pecinta sepakbola dunia tahu jika ada perseteruan yang sangat dalam antara Fiorentina dengan Juventus. Menjelang bentrokan kedua tim di lanjutan Serie A akhir pekan ini, mari kita mengingat awal mula terjadinya perseteruan itu.
Kejadian berawal pada musim kompetisi 1981/1982. Selama separuh musim Fiorentina memimpin liga. Tapi menjelang pertandingan terakhir perolehan nilai mereka bisa disamai oleh Juventus. Pada partai pamungkas, Juventus bertandang ke Catanzaro, sedangkan Fiorentina ke Cagliari.
Hingga akhir babak pertama, kedudukan masih sama-sama imbang tanpa gol. Para pengamat pun mulai membicarakan kemungkinan penentuan juara lewat pertandingan play off.
Tapi terjadilah skandal yang menghebohkan. Pada babak kedua I Viola mencetak gol lewat Daniel Bertoni - ada juga yang menyebut pencetaknya Francesco Graziani. Tapi entah kenapa wasit menganulir. Di saat bersamaan, Juventus malah dihadiahi penalti pada menit ke-75.
Gelar pun terbang ke Turin diiringi tangis kepedihan para Fiorentini. Selama berminggu-minggu, mereka turun ke jalanan untuk memprotes kepemimpinan wasit. Tapi FIGC (PSSI-nya Italia) tak bergeming dan tetap mengesahkan gelar Juventus.
Sejak itulah berkembang 'teori konspiras' dan politik uang Juventus dalam percaturan Serie A. Makanya, ketika kasus serupa dialami Inter pada musim 1997/1998, pengurus Fiorentina yang paling vokal mensinyalir adanya konspirasi tersebut.
Itu pula sebabnya kota Firenze berpesta semalaman ketika Fiorentina memukul Juventus 3-0 pada musim 1997/1998. Bagi mereka kemenangan itu tak ubahnya sukses meraih Scudetto.
Torricelli dan Di Livio, 'Bersumpah' di Hadapan Tifosi Fiorentina

Selain Giovanni Trapattoni, eks Juventino yang menyeberang ke Firenze adalah Moreno Torricelli dan Angelo Di Livio. Kedua pemain ini tak bisa seenaknya menginjakan kaki mereka di rumput suci stadion Artemio Franchi sebelum mengucap 'sumpah' di depan tifosi.
Torricelli tiba di Firenze pada musim 1998/1999 setelah enam musim membela Juventus. Selama di Bianconeri ia dijuluki 'Monster' lantaran kepiawaianya menjegal para striker lawan. Saking dicintai Juventini, ia pun berikrar untuk menjadi Juve sejati.

Tapi apa yang terjadi usia musim 1997/1998? Ia kaget benar ketika namanya masuk dalam daftar pemain yanga bakal dijual. MarcelloLippi, yang juga mendepak Mr. Trap dari kursi pelatih, menganggap Toricelli sudah tak diperlukan tim lagi. Beruntung I Viola meminangnya.
Meski di awal musim 1998/1999 tifosi Fiorentina sempat mempertanyakan keseriusan Torricelli, namun ia berhasil mengambil hati para tifosi setelah bersumpah untuk membaktikan seluruh sisa kariernya kepada Fiorentina.
"Saya ingin mengakhiri karier sepakbola di Firenze," ungkap 'Si Monster' seperti dilansir La Gazzetta dello Sport pada Desember 1999.
Seperti Torricelli, Di Livio pun harus bersumpah di depan Fiorentini akibat tampil buruk di tiga bulan pertamanya di Fiorentina. Parahnya, ia bahkan dianggap mata-mata Juventus.
"Semua orang tahu bahwa ada semacam permusuhan antara suporter Fiorentina dengan suporter Juventus, jadi ketika saya tiba di Firenze, cukup banyak tifosi Fiorentina yang merasa tidak suka, tetapi setelah tiga bulan berlalu, sepertinya saya berhasil memperoleh kepercayaan mereka seperti yang diperoleh Trapattoni dan Torricelli," beber 'Prajurit Kecil Roma'.
"Saat ini Juventus adalah musuh nomor satu saya, mereka membuang saya, mencapakkan saya, padahal saya memiliki perjanjian dengan klub itu untuk memperpanjang kontrak, tetapi mereka mengusir saya," tambah Di Livio saat itu.
Dan Di Livio pun membuktikannya kepada tifosi, ia bukan cuma bermain total tapi tetap bertahan di Firenze kendati klub terdegradasi ke Serie C2 pada musim 2002/2003.

Baggio, Kembali ke Firenze dengan Kostum Bianconeri

Setelah Juventus membajak Roberto Baggio dari Fiorentina pada tahun 1990. Tifosi I Viola yang marah sempat menyerbu ke kamp latihan tim nasional Italia di Coverciano, kota kecil dekat Firenze. Yang jadi sasaran bukan cuma Baggio, melainkan juga juga Nicola Berti. Setahun sebelumnya, Berti memang meninggalkan Fiorentina ke Inter Milan.

Tapi sasaran utama kemarahan publik adalah presiden Fiorentina, Lorenzo Righetti. Ia dipandang tak becus dan rakus. Akibatnya, Righetti terpaksa menjual sahamnya kepada pengusaha hiburan Mario Cecchi Gori. Sebelum meninggal, sang miliarder kemudian mewariskan jabatan presiden I Viola kepada anaknya, Vittorio.
Ketika Baggio kembali ke Firenze pada musim berikutnya penjagaan terhadapnya begitu ketat. Suasana stadion pun terasa mencekam karena pendukung Fiorentina tampak masih geram.
Puncaknya ketika Juventus mendapat hadiah penalti. Saat itu tuan rumah lebih dulu unggul satu gol. Baggio, spesialis eksekutor penalti Juventus, tiba-tiba menolak jadi algojo. Terang saja, tak cuma penonton, seluruh awak La Vecchia Signora pun kebingungan dibuatnya.
Lalu Gigi De Agostini yang mengambil eksekusi tersebut gagal memanfaatkannya, kemudian Baggio pun ditarik keluar untuk diganti dengan pemain lain. Namun saat memasuki ruang ganti, ia mengenakan syal warna ungu milik Fiorentina. Terang saja, 'kelakuan' Baggio itu menjadi sesuatu yang juga sulit dimaafkan oleh para Juventini.
Tapi, Thomas Haesller, rekan setimnya kala itu, memaklumi Baggio. "Untuk pertama kalinya sepanjang hidup, baru saat itulah saya merasakan bertanding tak cuma lawan 11 orang. Tapiu menghadapi seisi stadion," kata gelandang asal Jerman itu.
Namun setelah itu, Fiorentina mencoba mengatasi kehilangan Baggio dengan membeli penyerang muda asal Argentina yang kemudian menjadi simbol kedigdayaan I Viola, Gabriel Omar Batistuta.
Mr. Trap, Eks Juventino yang Diterima Tifosi Fiorentina
Setelah dicurinya Roberto Baggio dari Fiorentina oleh Juventus menjelang musim 1990/1991, perpindahan pemain ataupun pelatih di antara kedua klub menjadi lebih selektif di era presiden Vittorio Cecchi Gori. Bahkan, tak jarang berlaku hukum 'halal' dan 'haram'.
Salah satunya adalah Giovanni Trapattoni, pelatih Juventus yang mencuri scudetto 1982 dari Fiorentina. Keterlibatan Trapattoni dengan Bianconeri inilah yang membuat pendukung Fiorentina tidak mengerti mengapa Cecchi Gori merekrutnya pada musim 1998/1999, menggantikan Alberto Malesani.
Namun demikian, setelah Mr. Trap, begitu ia biasa disapa, menegaskan dirinya sudah terbebas dari pengaruh Juventus dan akan membaktikan diri kepada Fiorentina, pelatih yang kini menangani timnas Irlandia itu ditermia oleh tifosi.
"Saya kira keterlibatan saya dengan Juventus tidak akan mempengaruhi ikatan saya dengan Fiorentina," tangkis Mr. Trap kala itu.
"Selain melatih Juventus saya juga pernah menangani Inter Milan, Cagliari dan Bayern Munich. Setelah melatih tiga klub itu saya merasa telah 'bersih lingkungan' (bersih dari pengaruh Juventus)," lanjutnya.
Ia juga mengatakan, menantunya tinggal di Firenze dan pendukung berat Fiorentina. Jadi, katanya, "sudah ada darah Fiorentina di keluarga saya."
Selain itu, Mr. Trap merasa Juventus merupakan musuh utamanya, karena pada awal musim 1994/1995 ia 'didepak' sebagai pelatih dan digantikan Marcelo Lippi.
"Juventus tidak pernah menghargai orang yang telah memberikan kejayaan bagi klubnya
Ravanelli, Eks Juventino yang 'Haram' Masuk Firenze
Meski mantan Juventino semisal Moreno Torricelli dan Angelo Di Livio bisa diterima Fiorentina setelah mengucap 'sumpah', namun hal itu tidak berlaku bagi Fabrizio Ravanelli.
Saat itu menjelang bergulirnya musim kompetisi 1999/2000. Penyerang berambut putih, Ravanelli, merupakan calon kuat pengganti penyerang I Viola asal Brasil, Edmundo, yang pulang ke ke Vasco Da Gama.
Pemain yang ikut membawa Juventus menjuarai Liga Champions 1996 itu merasa mendapat kehormatan bermain di klub yang dijuluki "Si Ungu" itu. Tetapi pendukung I Viola segera menyatakan penolakannya begitu mendengar Ravanelli akan menggantikan Edmundo.
Fiorentini menganggap Ravanelli 'tidak bersih lingkungan'. Keterlibatannya dengan La Vecchia Signora masih dianggap 'dosa besar', meskipun ia sudah pindah ke Middlesbrough di Inggris dan Marseille di Prancis.
"Pelatih menginginkan saya, presiden klub juga menginginkan saya, dan tampaknya para pemain pun mau menerima saya. tetapi saya dengar pendukung Fiorentina dengan tegas menolak kehadiran saya," sesal Ravanelli saat itu.
Kendati demikian, Ravanelli mengaku tidak mau memicu keributan dengan tifosi I Gigliati. Namun ia mengaku sedih melihat sikap para tifosi, sebab ia benar-benar ingin bermain bersama pemain-pemain top seperti Gabriel Batistuta dan Manuel Cesar Rui Costa, juga merasakan tangan dingin Giovanni Trapattoni.
"Meskipun dulu saya seorang Juventino, bukan berarti saya tidak bisa menjadi seorang Fiorentino yang baik, yang siap membela klub dengan penuh kebanggan. Saya benar-benar sedih, tetapi saya tolol jika dalam keadaan seperti ini pergi ke Fiorentina," pungkasnya pasrah.
Beberapa hari berselang Torino berminat kepada Ravanelli, namun rencana kepindahannya lagi-lagi gagal setelah tifosi Torino menolaknya dengan keras. Alasannya, tentu saja latar belakang Ravanelli yang pernah menjadi simbol rival utama Torino, Juventus. Malangnya nasib Ravanelli
Di Era Della Valle, Pertukaran Pemain Jadi Lebih Lunak
Setelah Fiorentina dinyatakan bangkrut dan terdegradasi ke Serie C2 pada musim 2002/2003, klub diambil alih oleh pengusaha sepatu dan entreprenur di bidang kulit, Diego Della Valle. Di era ini, perpindahan pemain dari I Viola ke Juventus ataupun sebaliknya bukan lagi barang haram atau langka.
Pasalnya Della Valle tak pernah melihat latar belakang klub, tetapi melihat kualitas dan usia muda para pemain. Hasilnya sampai musim terakhir kepelatihan Cesare Prandelli, 2009/2010, Fiorentina cukup disegani di Liga Serie A dan Liga Champions.
Tercatat beberapa pemain yang memiliki masa lalu Juventus bisa diterima dengan tangan terbuka oleh tifosi Fiorentina. Sebut saja; Adrian Mutu, Manuele Blasi, Enzo Marescha, Fabrizio Miccoli, Marco Marchioni, Cristiano Zanetti, Sergio Almiron, Christian Vieri dan bahkan pelatih Cesare Prandelli yang semasa menjadi pemain pernah membela Bianconeri.
Pun sebaliknya semisal Giorgio Chiellini, Valeri Bojinov, Emiliano Moretti, Felipe Melo dan Luca Toni adalah para eks punggawa I Viola yang 'menyeberang' ke La Vecchia Signora.
Dari sekian banyaknya pemain yang 'menyeberang' tercatat hanya dua pemain yang memberikan pernyataan terbuka mengenai kepindahannya. Mereka adalah gelandang Brasil Felipe Melo dan pemain Argentina Sergio Almiron.
"Saya berterima kasih kepada fans I Viola untuk apa yang telah mereka berikan selama ini. Mereka akan selalu berada di hati saya. Saya minta maaf bila sekarang ada beberapa, atau mungkin juga banyak, suporter yang marah pada saya. Namun ini merupakan jalan yang harus saya tempuh. Perpindahan ini punya sisi positif bagi Fiorentina karena mereka bisa melakukan investasi dari hasil penjualan saya," kata Melo kepada La Gazzetta dello Sport saat hengkang ke Juventus pada musim 2009/2010.
"Saya berada di sini untuk membuktikan Juventus salah. Saya benar-benar sudah lebih siap dan saya ingin membuktikan kemampuan terbaik di sini. Lebih baik saya tidak membicarakan itu (Juve) lagi. Claudio Ranieri (pelatih Juve saat itu) adalah salah satu orang yang setuju saya dikontrak tapi kemudian saya tidak diberi tempat dalam timnya," beber Almiron setelah resmi bergabung dengan I Viola pada musim 2008/2009
Non Fiorentini yang Anti Juventus

Selain para pemain dan pendukung Fiorentina, banyak juga pemain dari klub lain yang mengaku tak suka Juventus. Mereka bahkan langsung dicintai publik Firenze lewat pernyataan ataupun sikapnya tentang Bianconeri. Berikut daftar para pemain yang 'Anti Juventus':
1. Dino Baggio
Nama mantan gelandang timnas Italia ini patut dikedepankan. Pasalnya, ia merupakan pemain yang paling terang-terangan membenci Juventus, klub yang menganggapnya barang rongsokan dan menjualnya menjelang musim 1994/1995 bergulir.

Kebencian itu dibuktikan Dino setiap kali Parma, klub yang membelinya, berhadapan dengan 'Pasukan Zebra'. Cerita berawal ketika Gialloblu memenangi Piala UEFA 1995. Di final pertama di kandang Parma, berakhir 1-0 untuk kemenangan tuan rumah. Sementara laga kedua di kandang Juventus berakhir 1-1. Siapa pencetak gol Parma di dua laga itu? Tentu saja Dino Baggio.
Saat itu nama Dino benar-benar mengangkasa di stadion Ennio Tardini. Para tifosi bahkan ada yang membawa spanduk dengan tulisan "100% Anti-Juve".
Dendam belum usai, pada pertemuan pertama Parma kontra Juve di musim 1998/1999, Dino untuk kesekian kalinya kembali merobek gawang Angelo Peruzzi dan membawa kemenangan untuk Parma.
Bahkan ketika Parma menjamu Juventus di musim berikutnya, Dino yang saat itu mendapatkan kartu merah langsung meludah di depan wasit dibarengi gerakan jari-jari tangan yang mengisyaratkan wasit menerima suap dari Juventus.

2. Predrag Mijatovic
Pemain yang satu ini memang pernah berseragam 'Ungu', tapi Pedja sudah dicintai tifosi Fiorentina jauh sebelum ia mendaratkan kakinya di stadion Artemio Franchi. Tepatnya, saat ia mencetak gol kemenangan Real Madrid ke gawang Juventus di final Liga Champions 1997/1998.
Saat pertama kali menerima tawaran untuk bergabung dengan Fiorentina di musim 1999/2000, kalimat pertama yang diucapkan Pedja di hadapan tifosi Fiorentina adalah: "Saya akan menjadi mimpi buruk Juve, gol itu (di final Liga Champions) bukan yang terakhir ke gawang Juve. Saya akan melakukannya lagi."

3. Giorgios Georgatos
Masih ingat nama ini? Tifosi Inter Milan pasti tak akan melupakan bek kiri asal Yunani ini. Satu saat ia pernah mengungkapkan salah satu pengalamannya yang terjadi pada tahun 1983.
"Pada 1983 saya naik sebuah kapal. Di dalamnya ada banyak sekali penggemar Juventus. Mereka bernyanyi dan bersorak semalam suntuk, membuat saya tak bisa tidur dengan nyaman. Karena kesal, malam itu juga saya bersumpah untuk tidak mendukung Juventus. Sebaliknya, saya mendaulatkan diri sebagi tifosi Inter Milan," beber pemain berkepala plontos itu saat pertama kali berseragam Nerazzurri pada musim 1999/2000.

4. Emiliano Viviano
Nama kiper Bologna ini tak boleh dilupakan. Pasalnya Viviano merupakan putra asli Firenze meski belum pernah berkostum Fiorentina. Namun menjelang pertemuan klubnya dengan Juventus awal Maret lalu, penjaga gawang timnas Italia itu menegaskan dirinya tak suka Juventus dan seorang Fiorentino sejati sejak kecil.
"Saya tidak menyukai Juventus. Saya tidak menyukai mereka sejak saya masih kecil. Menjadi Fiorentino adalah hal yang wajar sehingga saya memiliki kebencian kepada Juventus," kata Viviano kepada La Gazzetta dello Sport


sumber : today.co.id

3 comments:

  1. Berita ini sy tulis di tempat saya bekerja (today) dan grup ini bukan tidak untuk dijadikan dokumen oleh para fiorentini. Boleh-boleh saja....karena saya pun mendapatkan berita tersebut dari beberapa media lain dan sumber2 terpercaya di italia. namun sebagai seorang pekerja media saya selalu mengubahnya dengan tulisan versi sendiri dan mencantumkan sumbernya meskipun secara tersirat. saya minta bung ganung pundemikian. Ini etika media/jurnalistik,tx - riki noviana.

    ReplyDelete
  2. ini murni karya anda bung...? atu dari hasil orng lain...?

    ReplyDelete
  3. maaf bung, saya butuh tanggapan anda. saya minta anda minta ijin, minta maaf dan segera menghapus semua tulisan saya di bloh anda sebelum saya bertindak secara hukum


    -riki noviana

    ReplyDelete

Artikel Lainnya